Minggu, 24 April 2011

dari teman

Perlukah Kita Bermazhab?
, Posted by Papyrusz at Thursday, April 15, 2010

Pertanyaan dari judul tulisan di atas sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam fenomena perkembangan ilmu fikh. Perbedaan pendapat sampai detik ini masih berlangsung seputar penting tidaknya mengikuti suatu mazhab secara utuh tanpa beralih ke mazhab lain.

Latar Belakang Berdirinya Mazhab

Mazhab sendiri sebenarnya merupakan sebuah ide, pendapat atau jalan yang melahirkan pemahaman secara utuh terhadap berbagai permasalahan agama yang didasarkan pada dalil-dalil. Dan dalam perkembangannya para Ulama dulu dan bahkan sekarang (Mutaqaddimun dan Muta-akhirun) memang banyak berbeda pandangan baik dari sudut pemahaman terhadap matan suatu ayat atau hadits. Di samping itu, tidak adanya tadwin (pengumpulan) hadits seperti sekarang ini berpotensi terjadinya perbedaan pendapat tersebut di masa lalu.

Ini bisa dipahami, di saat seorang Ulama memiliki dasar (dalil) suatu hukum yang tidak pernah didapatkan oleh Ulama lainnya, sebagaimana yang dipahami dari sikap Imam Syafi’i sendiri di saat meminta Imam Ahmad bin Hambal untuk memberitahukan suatu hadits yang tidak pernah beliau ketahui sebelumnya.

Dasar lain yang menjadi rujukan adalah, pada saat itu proses penerimaan hadits yang dilakukan secara face to face (talaqqi) dan harus menempuh perjalanan jauh karena tersebar di banyak tempat, jelas juga menjadi faktor penting kenapa tidak semua dalil-dalil yang ada pada saat itu diketahui oleh semua Ulama. Dan lahirlah perbedaan pandangan dan dalil yang menjadi rujukan berbagai pandangan.

Sehingga muncullah dalam sejarah Fikh berbagai mazhab yang didasari pada keyakinan pendirinya buah dari kajian-kajian dari nash-nash yang mereka dapatkan sebagai Ulama-Ulama besar di eranya, yang kemudian mempengaruhi pandangan umat Islam sekarang. Dan tidak ada suatu permasalahan pun yang tidak mereka catat terkecuali pada hal-hal yang berhubungan dengan permasalah-permasalahan kontemporer.

Dan ini kemudian menggugah para Ulama-Ulama sekarang untuk mengkaji hukum-hukum untuk setiap permasalahan terkini yang tidak pernah muncul pada zaman dahulu seperti hukum Bursa saham, bayi tabung, dan lain sebagainya. Sehingga muncullah dalam ilmu fikh modern apa yang disebut dengan “Al-Ahkam fi Qadhaya Mu’asharah (hukum-hukum yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan kontemporer)”.

Para Ulama sekarang pun juga mengkaji kembali hukum yang sudah ditetapkan oleh Ulama Mutaqaddimun ketika berhadapan dengan fenomena-fenomena riil yang tidak didapatkan pada zaman sebelumnya. Sebut saja misalkan masalah hukum “ROKOK”, di mana dalam kajian-kajian Ulama Mutaqaddimun, merokok dianggap sebagai sebuah perbuatan yang tidak baik dan hanya mencapai tingkat makruh dalam hukum.

Di saat fenomena kematian bagi penduduk bumi banyak disebabkan karena perbuatan merokok berdasarkan data dan analisis serta kajian ilmiah yang dilakukan oleh pakar-pakar kesehatan dunia, mengundang banyak para Ulama Muta-akhirun untuk menetapkan hukum haram berdasarkan dalil-dalil yang tidak membolehkan kita untuk mencampakkan diri kita dalam kebinasaan seperti yang dipahami dari Surat Al-Baqarah ayat 195.

Taklid dan Talfiq

Untuk bisa bergerak secara lebih mulus, sebenarnya dalam fikh sendiri sudah ada ketetapan tentang “Taklid” dan “Talfiq”. Keduanya merupakan motor penggerak agar umat tidak terjebak pada suatu kesalahan dan perbedaan yang bisa menimbulkan gesekan kuat sesama umat.

Taklid adalah bentuk amalan yang dilakukan dengan tanpa adanya sikap kritis tentang kebenaran dari suatu arahan. Terlepas apakah yang dikatakan tersebut bertentangan dengan dalil-dalil sharih (jelas) yang memerintahkan sebaliknya. Kebiasaannya sikap taklid selalu memiliki hubungan erat dengan sikap ta’ashub yang berlebihan.

Sedangkan Talfiq sendiri adalah bentuk pengambilan pendapat-pendapat ulama secara serampangan dengan tujuan melaksanakan amalan yang lebih mudah untuk tanpa memperdulikan kaidah-kaidah dan rambu-rambu yang sudah ditetapkan. Bisa juga dikatakan talfiq adalah penggabungan pendapat-pendapat ulama sehingga menghasilkan produk hukum baru yang tidak pernah diakui oleh para ulama.

Kedua pola ini sangat berbahaya bagi umat dan menciptakan ketidakstabilan dalam beragama. Bayangkan saja jika orang-orang awam yang tidak mengetahui kaidah-kaidah agama sudah berani berfatwa. Ini bahaya yang bisa ditimbulkan dari dua bentuk di atas.

Berhubungan dengan hal ini, umat Islam berada dalam beberapa kondisi yang berkembang sampai saat ini, dan bisa disimpulkan dalam tiga golongan besar sebagai berikut:
1. Orang-orang yang berpegang pada pemahaman bahwa penganut mazhab tertentu harus konsisten pada mazhabnya sendiri tanpa beralih ke mazhab lain dalam hal pengamalan.

2. Orang-orang yang melihat tidak perlunya mengikuti mazhab manapun tetapi dalam beramal langsung merujuk kepada Quran dan Hadits.

3. Dan orang-orang yang lainnya membolehkan percampuran pendapat mazhab dalam suatu amalan dengan ketentuan harus mengetahui dalil-dalil yang digunakan oleh para Imam-Imam mazhab dan kedudukannya berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hadits.

Golongan Pertama:

Dimana Sebagian orang dari golongan ini adalah orang-orang yang sangat fanatik dengan mazhab tertentu dan menutup pintu untuk mazhab lainnya bahkan jarang sekali didapatkan orang-orang dengan sikap fanatik ini mencoba melakukan telaah dan kajian secara lebih mendalam dan melakukan perbandingan dari semua pendapat yang ada. Seperti penulis pernah mendapatkan beberapa orang yang menolak pemotongan gaji pegawai untuk diambil sebagai zakat karena tidak adanya ketentuan dalam Mazhab Syafi’i.

Orang-orang ini cenderung dipengaruhi oleh situasi dan kondisi karena hanya menguasai pemahaman berdasarkan suatu mazhab dan tidak mau tau dengan apa yang dijabarkan oleh mazhab-mazhab yang lainnya, dan pemahaman yang mereka peroleh bersumber dari kitab-kitab fikh mazhab tertentu saja dan buta atau tidak tau sama sekali dasar hukum yang dipergunakan oleh mazhab lainnya.

Sebagian lainnya hanya membatasi sikap ini pada hal-hal yang menyangkut ibadah saja, seperti misalkan seseorang yang berwudhu’ dengan mazhab Maliki maka tidak sah shalatnya jika dilakukan dengan Mazhab Syafi’i. Ketentuan seperti ini ditetapkan demikian agar orang-orang awam tidak mengambil pendapat-pendapat tersebut dengan hawa nafsu dan keinginannya sendiri dengan merujuk pada pendapat-pendapat yang mudah saja, tanpa mengetahui dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan hal dimaksud. Pandangan seperti ini jauh lebih bisa diterima dari orang-orang sebelumnya.

Sehingga dalam kajian-kajian fikh sering didapatkan penetapan bahwa orang-orang awam yang berada dalam komunitas tertentu maka mazhabnya adalah mazhab Imam yang berada di tempat tersebut. Kaitannya dengan era sekarang, orang-orang tersebut mengikuti orang alim dan mazhab yang dianut oleh orang alim yang ada di tempat tersebut.

Golongan Kedua:

Golongan kedua ini sangat rentan tersesat jika berada pada ranah orang awam, karena seseorang yang tidak memiliki skill atau pun kemampuan yang cukup untuk menetapkan suatu hukum dari suatu permasalahan yang membutuhkan keputusan hukum untuk menentukannya.

Skill yang saya maksudkan adalah apa yang bisa disebut dengan “Ilmu Alat”, seperti Kemampuan bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, Ilmu Fikh dan Ushul Fikh, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Manthiq dan lainnya. Ketika ada orang yang tidak sama sekali menguasai ilmu alat yang telah saya sebutkan tadi, maka diwajibkan baginya untuk bertanya kepada yang mengetahui.

Golongan ini hanya diperuntukkan untuk hamba-hamba pilihan dari golongan-golongan Mujtahid yang sanggup menggali akar dan dasar dari berbagai sumber yang akan menjadi patokan untuk penetapan hukum tersebut.

Golongan Ketiga:

Golongan ketiga ini sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan golongan kedua. Sebagaimana kita ketahui, setiap pendapat Ulama selalu berdasarkan pada dalil-dalil yang mereka sebutkan. Sehingga Ulama-Ulama Mujtahid ini kemudian melakukan pola “Munaqasyah Al-Adillah (Kajian Dasar Hukum)” yang digunakan oleh para Ulama-Ulama Mazhab tersebut. Dari kajian ini mereka menemukan manakah dalil yang lebih kuat sehingga menjadi fatwa mereka untuk diteruskan kepada umat.

Sebagai contoh:

Imam Syafi’I mengisyaratkan shalat jum’at hanya boleh dilakukan apabila dihadiri minimal 40 orang dewasa (baligh), dengan dasar dalil yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Nabi saw melakukan shalat jum’at di Madinah sedangkan jumlah mereka adalah 40 orang. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1295 – 1297). (http://www.eramuslim.com)

Para ulama Maliki memberikan persyaratan jumlah minimal yang hadir adalah 12 orang dalam shalat dan khutbah, sebagaimana riwayat dari Jabir bahwa Nabi saw pernah berkhutbah dengan berdiri pada hari jum’at kemudian datang rombongan dagang dari Syam dan para jama’ah menghampirinya sehingga yang tersisa hanya tinggal dua belas orang saja, kemudian turun firman Allah swt dalam surat al Jumu’ah:

َإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا

Artinya : “dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).” (QS. Al Jumu’ah : 11. (http://www.eramuslim.com)

Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa shalat jum’at bisa dilakukan minimal oleh tiga orang selain imam, walaupun mereka orang yang musafir atau orang sakit. (http://www.eramuslim.com)

Al Laits bin Sa’ad, Zufar dan Muhammad bin Al Hasan berpendapat bahwa shalat jum’at bisa dilakukan minimal oleh tiga orang selain imam (Disyaratkan paling sedikit empat orang), walaupun mereka orang yang musafir atau orang sakit, berdasarkan ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ

"Mereka menyatakan, bahwa kata amanu adalah bentuk jama’ (plural), dan jama paling sedikit tiga ditambah imam, maka berjumlah empat orang. (http://www.almanhaj.or.id)

Disyaratkan paling sedikit tiga orang: seorang khatib dan dua orang pendengarnya. Demikian riwayat dari Imam Ahmad, Al Hasan Al Bashri, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan salah satu pendapat Sufyan Ats Tsauri [37], berdalil dengan pernyataan di bawah ini:

- Tiga adalah angka terkecil dalam bentuk jama’.
- Hadits Abu Ad Darda’yang berbunyi:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

"Tidak ada dari tiga orang di satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan padanya shalat, kecuali syetan akan menguasai mereka".[38]

Mereka menyatakan, shalat yang dimaksudkan disini bersifat umum, meliputi shalat Jum’at dan yang lainnya. Ini menunjukkan kewajiban shalat Jum’at bagi tiga orang.

Demikian pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan: Shalat Jum’at sah diadakan oleh tiga orang. Seorang berkhutbah, dan dua orang yang mendengarnya. Dan pendapat ini juga dirajihkan Syaikh Ibnu Baaz, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia. (http://www.almanhaj.or.id)

Sebenarnya perbedaan pendapat dalam masalah ini sangat banyak dan tidak hanya terbatas pada empat pendapat yang saya sebutkan di atas tadi.

Yang menarik adalah Imam Sayuthi sendiri yang merupakan salah satu dari Imam yang berada dalam golongan mazhab Syafi’i, seperti yang dinukilkan oleh Syaikh Jadil Haq ’Ali Jadil Haq menyebutkan, “Tidak ada satu dalil pun yang dengan tetap menentukan bilangan shalat jum’at”.

Ulama-Ulama Mujtahid kemudian menelaah kembali dasar-dasar hukum yang digunakan untuk merujuk pada hukum final terhadap masalah jumlah orang yang akan melakukan shalat jum’at. Sehingga banyak yang setuju dengan penetapan bahwa sah shalat jum’at yang dilakukan hanya dengan bilangan 3 orang saja. Wallahu A’lam bis Shawab

Metode Tarjih atau penggalian hukum yang didasari pada dalil yang terkuat seperti inilah yang sekarang dianut oleh universitas-universitas Islam besar di dunia, dan dimotori oleh Ulama-Ulama besar sekarang. Seperti yang bisa dijumpai pada Universitas Al-Azhar, Mesir. Dan metode ini pun sebenarnya bukanlah hal baru dalam kajian hukum Islam.

Kesimpulan:

Perbedaan pandangan dalam Islam seputar hukum adalah sesuatu yang lumrah yang harus disikapi dengan cara bijak, dengan menanggalkan segala bentuk ta’ashub. Dan perbedaan ini sebenarnya telah mengantarkan umat Islam pada khasanah yang luar biasa, yang tidak pernah dimiliki oleh umat manapun.

Namun untuk menyikapi perbedaan tersebut, harus dilakukan langkah-langkah konkret yang bisa membuat umat tidak kebingungan dan melakukan jalan pintas dengan mengadopsi sendiri pendapat-pendapat Imam tersebut sesuka hatinya tanpa mengindahkan dalil-dalil yang digunakan oleh para Ulama. Karena fenomena ini akan berdampak sangat buruk dan tidak dibenarkan oleh agama.

Untuk itulah, fikh menetapkan pada orang awam untuk mengikuti Imam yang ada di tempatnya yang melakukan kajian dengan kemampuan ilmu alat yang dimilikinya untuk menetapkan hukum dari permasalah tersebut. Sehingga dalam sejarah pemerintahan Islam selalu terdapat apa yang disebut dengan Qadhi yang mengurus setiap permasalahan yang berhubungan dengan hukum Islam. Dan fenomena seperti ini masih bisa didapatkan di Negara-negera Arab seperti Saudi Arabia dan Mesir.

Keberadaan Qadhi ini bisa menengahi perbedaan pendapat ini dan menjadikan umat tidak terbentur, seperti yang sering dilihat di Indonesia. Seperti permasalahan Qunut, bilangan shalat tarawih, fidyah shalat, penetapan puasa dan hari raya serta yang lainnya.

Dan yang terpenting adalah penetapan hukum dari suatu masalah harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten sedangkan orang-orang awam hanya boleh mengikutinya saja dan bertanya kepada orang-orang yang ahli apabila dihadapkan pada suatu masalah hukum tanpa langsung mengambil keputusan sendiri.

Karena jika orang awam pun sudah berani bicara tenang hukum sesuatu tanpa referensi yang tepat akan berakibat sangat fatal. Karena sangat mengherankan bila ada artis yang mengatakan bahwa dia tidak berjilbab karena sudah menjilbabi hatinya sebagai sebuah pemahaman terhadap agama.

“Bukankah tak elok macam tu kan, Ipin?” tanya Upin.
“Betul, betul, betul,” jawab Ipin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar